Jiwa Merdeka, Lima Puluh Kota
- Gunung demi gunung tertinggi di Indonesia telah didaki oleh
ekspeditor Aksa 7. Dari ujung barat hingga timur Indonesia telah
dilampaui demi sebuah karya yaitu film dokumenter.
Lima
laki-laki dan satu perempuan berjalan bersama untuk menyelesaikan film
dokumenter lewat Ekspedisi Aksa 7 sejak November tahun 2014. Demi
mimpi-mimpi untuk memotret Indonesia dari dekat.
"Aksa
7 ini awalnya dari keinginan kita membuat film perjalanan pendakian.
Kita memulai perjalanan ini dari barat ke timur Indonesia lewat mendaki
gunung. Yang kita daki 7 tujuh gunung di Indonesia. Ya sebenarnya ingin
mengenal Indonesia lebih dekat lewat film. Ada kehidupan masyarakat yang
lain kita tidak kenal," kata penggagas Ekspedisi Aksa 7, Anggi Frisca
atau kerap disapa Cumit ini kepada KompasTravel di Lembah Harau beberapa
waktu lalu.
Perspektif
tentang Indonesia dicoba untuk dihadirkan lewat sebuah film. Lewat enam
pasang mata ekspeditor dan satu ekspeditor tamu di masing-masing
gunung, realita-realita Indonesia coba direkam.
Enam
ekspeditor Aksa 7 adalah Anggi Frisca, Jogie Khrisna Muda Nadeak,
Yohanes Christian Pattiasina, Rivan Hanggarai, Wihana Erlangga, dan
Teguh Rahmadi. Semua memiliki latar belakang yang sama yakni
sinematografer asal Institut Kesenian Jakarta.
"Karena
tiap masing-masing orang punya perspektif berbeda walaupun di tempat
yang sama. Ketika mendaki ke Gunung Kerinci, saya melihat Kerinci jadi
sesuatu yang bernilai ekonomi sekali. Namun, Teguh melihat sederhana
saja. Ada satu kehidupan di daerah yang rela membuka pintunya
masing-masing untuk tamu. Itu yang tak ada di Jakarta. Ini jadi
perjalanan orang Jakarta mengenal Indonesia lebih dekat merasakan ada
satu kehidupan yang lain di luar sana," cerita Cumit.
Ia
mengatakan film dokumenter Aksa 7 sendiri bercerita tentang perjalanan
ekspeditor memotret keadaan sosial budaya ekonomi di tujuh gunung
Indonesia. Perempuan yang bertindak sebagai sutradara film Aksa 7 itu
juga menyebutkan banyak hal-hal yang ditemui selama perjalanan pendakian
tujuh gunung itu.
Dari
mulai kehidupan ekonomi masyarakat yang belum terdampak oleh pariwisata
gunung, cerita tentang pelestarian alam, dan juga tentang keselamatan
pendakian gunung. Lewat perjalanan Aksa 7, ia pun belajar dari
perjalanan bersama rekan-rekannya.
"Karena
setelah melihat tujuh gunung di Indonesia dan bersama dengan
masyarakat, rasanya Aksa 7 ini menjadi salah satu bentuk pengabdian
untuk menyampaikan inilah Indonesia, inilah pariwisata Indonesia,"
tambahnya.
Ia
pun membandingkan dengan keadaan pariwisata di luar negeri. Potensi
Indonesia begitu luar biasa untuk pengembangan pariwisata.
"Kenapa
Indonesia tak bisa? Padahal alam Indonesia sudah luar biasa keren.
Kenapa kita lebih memilih menjual tambang, rela daripada kita mengolah
destinasi wisata yang indah ini menjadi target pariwisata," jelasnya.
Ia
pun berharap lewat film perjalanan yang memiliki pendekatan kisah nyata
ini bisa merangsang berbagai pihak seperti pemerintah, masyarakat,
hingga penggiat alam dalam mempromosikan dan mengelola obyek wisata
gunung di Indonesia dengan maksimal.
Masalah-masalah
yang Cumit temui selama perjalanan seperti sampah, tak terdampaknya
masyarakat secara ekonumi, dan pengelolaan wisata gunung yang buruk bisa
hadir langsung di masyarakat.
"Konsepnya
Aksa 7 ini kan melihat, merasakan, dan bergerak. Cerita personal
journey atau kisah nyata dari pendakian. Di film perjalanan pendakian
ini akan ada gambaran masalahnya ada di pendakian, masalah ego kita,
masalah kita bersama tim, bersama masyarakat, bersama pemerintah. Itu
semua ada dan kita ramu di sebuah film. Personal journey ini jadi
perwakilan banyak orang," papar Cumit.
Film perjalanan Aksa 7 sendiri berdurasi 90 menit. Rencananya film pendakian ini akan tayang pada tahun 2017.
"Setelah
film ini tayang bisa diterima di bioskop karena film dokumenter belum
punya tempat. Penontonnya bisa melihat perjalanan kami dan Indonesia,
bahwa ini adalah sebuah proses. Masyarakat Indonesia bisa muncul rasa
cinta dan bergerak dari kondisi Indonesia yang sekarang ini," ungkapnya. (Sumber: Kompas.com).
0 komentar:
Posting Komentar